peduli, dan merakyat saat berada di depan kamera. Mereka tersenyum lebar, menyapa hangat, memeluk rakyat kecil, hingga rela makan di warung sederhana demi menunjukkan sisi “membumi”. Namun, di balik lensa kamera, tak sedikit yang justru menunjukkan wajah berbeda—lebih dingin, lebih tertutup, bahkan terkadang arogan. Hal ini menimbulkan pertanyaan klasik di tengah masyarakat: kenapa polisi sering terlihat baik hanya di depan kamera?
1. Citra adalah Modal Politik
Politisi sejatinya bukan hanya pembuat kebijakan, tapi juga tokoh publik yang rajazeus slot menjual citra. Di era digital dan media sosial, penilaian publik sering kali didasarkan pada visual dan persepsi. Kamera menjadi alat utama untuk membentuk kesan. Dengan tampil baik, bersahabat, dan empatik di depan publik, seorang politisi dapat menarik simpati, membangun popularitas, dan menjaga elektabilitasnya. Dalam banyak kasus, citra yang dibangun di kamera jauh lebih penting daripada rekam jejak yang sesungguhnya.
2. Kepentingan Pencitraan dan Elektabilitas
Banyak politisi bersikap baik saat menjelang pemilu atau ketika sorotan media sedang mengarah pada mereka. Momen-momen seperti pembagian sembako, blusukan ke pasar, kunjungan ke daerah bencana, atau sekadar selfie dengan warga menjadi ajang pencitraan yang kuat. Tapi, setelah kamera mati dan perhatian publik mereda, tindakan nyata sering kali tidak sebanding dengan citra yang ditampilkan. Janji tinggal janji, dan rakyat kembali jadi penonton.
3. Perbedaan Antara Imaji dan Realita
Ada perbedaan besar antara panggung politik dan ruang kerja nyata. Di depan kamera, politisi bisa memainkan peran sebagai pahlawan rakyat, tetapi dalam praktiknya, keputusan-keputusan mereka bisa sangat pragmatis dan elitis. Banyak politisi yang di layar tampak bersih dan peduli, tapi terlibat dalam kasus korupsi, kolusi, atau kebijakan yang merugikan rakyat. Di sinilah publik sering merasa dikhianati—karena realita tak sesuai dengan imaji.
4. Media dan Tim Humas yang Canggih
Jangan lupakan peran tim humas dan media dalam membentuk wajah “baik” seorang politisi. Dari cara berpakaian, intonasi bicara, pilihan kata, hingga sudut kamera—semuanya dirancang untuk memberi kesan positif. Bahkan momen-momen “natural” seperti menolong warga atau menyuapi anak kecil sering kali sudah melalui setting atau pengarahan. Kamera, dalam hal ini, bukan hanya alat dokumentasi, tapi juga panggung drama politik.
5. Rakyat yang Mudah Lupa
Sayangnya, masyarakat pun kadang mudah terbujuk oleh tayangan media. Ketika melihat politisi tampil baik, banyak yang langsung simpatik tanpa melihat rekam jejak dan konsistensinya. Siklus ini terus berulang, membuat politisi tak sungkan terus membangun citra palsu karena tahu: selama tampil meyakinkan, rakyat akan memaafkan dan mungkin memilih mereka kembali.
BACA JUGA: Polisi Wanita: Tantangan di Dunia yang Didominasi Pria